Dear All,
Beberapa waktu yang lalu, aku berkesempatan untuk touring bersama suami. Sejak memiliki “motor ndut”, begitu Aisyah menyebutnya, suamiku memiliki hobi baru, yaitu modifikasi dan touring. Aku memang tidak pernah mau ikut touring, lihat kecepatannya saja aku sudah merinding π
Touringku kali ini berbeda dengan touring komunitas. Kali ini aku hanya berdua saja dengan suamiku, touring sendiri. Maap ya, Aisyah, bebiku sayang, Bunda belum bisa mengajakmu, cuacanya terkadang masih ekstrim. Aku pun hanya berdua dengan suami. Aku setuju untuk diajak touring juga bukannya tanpa syarat. Syaratnya, memang suamiku yang mengendarai, tapi harus aku yang mengendalikan berapa batas kecepatannya π
Tujuan kami kali ini adalah sebuah desa di ujung pelosok Tenggara kotaku. Desa yang mulai dikembangkan sektor wisatanya pada tahun 2010. Desa kecil di kaki Pegunungan Kapur Utara, yang menurut cerita teman, pemandangan di sepanjang jalannya begitu menakjubkan.
Desa ini bernama Wonosoco. Terletak di wilayah kecamatan Undaan, kabupaten Kudus. Kurang lebih 20km dari pusat kota Kudus. Penduduknya hanya sekitar 1000an orang, tetapi potensi wisatanya begitu besar, diantaranya pemandangan alam nan menakjubkan dan Sendang Dewot, sendang dengan mata air yang konon tidak pernah kering. Rasa penasaran pun semakin memuncak dan membuatku merasa wajib untuk berkunjung ke sana.
Disepakatilah hari Ahad siang selesai bekerja, aku dan suami berangkat. Yah, hari Ahad aku memang masih bekerja. Kebanyakan lembaga dan sekolah-sekolah Islam di kotaku memang tidak libur di hari Ahad, tetapi hari Jumat. Aku selesai kerja jam 12 siang, setelah sholat dhuhur, aku dan suami pun berangkat. Segala persiapan aku siapkan, termasuk jas hujan dan air minum. Biar kelihat lebih keren, aku juga pakai jaket kulit, pinjem punya suami, sih π
Sebelum menuju Wonosoco, aku minta bantuan seorang teman untuk menjadi pemandu, Bang Iwan namanya. Bang Iwan asli Undaan dan mengenal medan dengan baik. Ia malah sekalian mengajak istri dan anaknya. Wah, seruuu π
Kamipun segera memulai perjalanan. Di awal-awal perjalanan, panas terik menaungi kami. Rasa penasaran yang besar lah yang membuat kami terus semangat. Sampai kami melihat papan penunjuk arah, “Sendang Dewot Wonosoco 4km” di satu sudut jalan desa Babalan. Dari situ, kami mulai menyusuri jalan desa menuju Wonosoco. Ternyata papan penunjuk ke arah Wonosoco sudah terpasang di sudut-sudut jalan maupun di perbatasan tiap desa.
Wonosoco memang dipersiapkan menjadi salah satu destinasi wisata di kotaku. Papan penunjuk jalan hingga infrastruktur jalan pun mulai dibangun dan diperbaiki. Meskipun memang, masih ada kerusakan jalan di beberapa titik dan sedang menunggu giliran untuk diperbaiki. Semoga segera terwujud, ya, karena cukup mengganggu juga.
Beberapa saat kemudian, sampailah kami di desa Berugenjang. Desa terakhir yang harus di lintasi sebelum sampai di Wonosoco. Pemandangan menakjubkan yang menarik minatku untuk mengunjungi Wonosoco pun mulai menyambut.
Gelaran karpet hijau tebal mengiringi di samping kanan dan kiri. Udara sejuk merajuk. Semerbak aroma sawah bergelayut. Gemericik jernih air mengalir tak henti. Bunga-bunga rumput berayun dibuai lembut sang bayu. Langit cerah, musim cerah, petani menggarap sawah. SubhanAllah,,sungguh indah.
Karpet hijau ini tergelar kurang lebih sepanjang 1 km perjalanan kami. Kami benar-benar menikmati pemandangan yang sanggup merefresh kepala kami ini. Hingga tibalah kami di tempat tujuan yang ternyata berada di seberang sungai. Desa kecil yang seolah tersembunyi di kaki Pegunungan Kapur Utara.
Perjalanan yang hampir 1 jam membuat punggung kami lelah. Kamipun memutuskan untuk mengunjungi salah satu teman dari istri Bang Iwan yang kebetulan tinggal di Wonosoco, Mbak Lia namanya. Memasuki desa Wonosoco suasananya masih sangat alami. Penduduknya ramah dan bersahaja. Ketika kami bingung mencari rumah Mbak Lia, tanpa bertanya, seorang penduduk yang sedang lewat pun langsung memandu kami sampai rumah Mbak Lia. Kamipun beristirahat sejenak di singgasana yang terlihat mewah dibanding rumah-rumah di sekitarnya, sambil bertanya-tanya tentang Wonosoco dan Sendang Dewotnya.
Kawasan Sendang Dewot sedang dalam masa pembangunan. Di sana terdapat mata air yang memang belum pernah kering hingga sekarang. Selain itu, ada juga bumi perkemahan, gedung pertemuan, dan beberapa gua. Rasa penasaran membuat kami tak berlama-lama, kamipun segera lanjut ke Sendang Dewot yang sudah dekat.
Lima menit perjalanan dari rumah Mbak Lia, sampailah kami di lokasi Sendang Dewot. Turun dari motor, ibu-ibu petugas tiket pun segera mendekati kami. Tiket masuknya hanya tiga ribu rupiah, sedangkan parkir motornya, seribu rupiah. Kamipun segera berkeliling.
Benar saja. Kawasan sendang cukup teduh dinaungi pohon-pohon besar berusia lanjut. Pada hari itu, pengunjungnya cukup banyak dan rata-rata adalah remaja tanggung. Ada sebuah gedung pertemuan besar atau aula berbentuk seperti pendopo. Ada juga sebuah monumen bertuliskan “Wayang Klithik”. Akupun tidak tahu apa maksud monumen tersebut.
Masih di sekitar pendopo, ada sebuah bangunan kantor. Terlihat masih baru dengan tulisan berbahasa Inggris “Tourist Information Center (TIC)”. Hanya saja, bangunan tersebut masih kosong. Nampaknya, kawasan Sendang Dewot ini memang sedang dipersiapkan untuk menjadi sebuah tujuan wisata berkelas Internasional.
Kamipun segera mencari dimana sendang berada. Sendang tersebut seolah tersembunyi di bawah pohon besar berusia ratusan tahun. Ada sebuah gentong bertutup yang diletakkan di sisi sebuah pohon. Sedangkan Sendang Dewot berada di belakangnya. Airnya memang masih cukup jernih.
Menurut cerita ibu tukang parkir, setahun sekali ada tradisi reresik di sendang. Sendang akan terus mengalir dan mencukupi kebutuhan penduduk dengan syarat harus diadakan tradisi reresik (bersih-bersih) sendang dan pementasan Wayang Klithik. Wayang Klithik adalah wayang terbuat dari kayu. Bila dimainkan berbunyi “klithik,,klithik,,” sehingga dinamakan Wayang Klithik.
Pantas saja, di dekat aula tadi ada sebuah monumen bertulis “Wayang Klithik”. Rupanya untuk mengingatkan penduduk desa agar melestarikan tradisi reresik sendang dan mementaskan Wayang Klithik. Tradisi yang menjadi ciri khas desa Wonosoco dan membedakannya dengan desa lain.
Masih di sekitar sendang, berjajar kamar mandi yang nampak masih baru dan bersih. Sepertinya memang sudah dipersiapkan untuk tamu-tamu yang akan berkunjung ke desa ini. Selain sendang, di kawasan ini juga terdapat beberapa gua. Hanya saja letaknya masih lumayan jauh, kurang lebih 1 km dari sendang, dan hanya bisa ditempuh dengan cara berjalan kaki. Jalannya masih terjal, belum dimaksimalkan untuk menarik pengunjung.
Sebenarnya aku ingin sekali melihat guanya. Tapi apa daya, sepertinya aku salah kostum. Sepatuku terlalu girly untuk jalan yang terjal. Bang Iwan juga membawa anaknya yang masih kecil. Tidak mungkin kan menggendongnya sejauh 1 km dengan kondisi jalan yang terjal π
Akhirnya, kamipun mengakhiri perjalanan kami kembali ke alam. Aku bersyukur bisa sampai di desa kecil nan menakjubkan ini.
Terimakasih untuk suamiku, yang bersedia membawaku menikmati pemandangan alam yang tak terlupakan. Untuk Bang Iwan dan keluarga kecilnya yang bersedia menjadi pemanduku ke Wonosoco. Mbak Lia yang mengizinkan kami berteduh sejenak di singgasana mewahnya. Bu Parkir juga tentunya, yang sudah mau berfoto denganku π
Someday, aku masih ingin kembali menikmati pemandangan alam yang menakjubkan di desa ini, dengan formasi lengkap, bersama Aisyah tentunya. Menikmati kekayaan alam kotaku, bagian dari Indonesia yang masih perawan. Tenang menanti tamu-tamu berdatangan. Menikmati keindahan yang murni dipersembahkan oleh alam kepada kita, manusia.
Inilah salah satu sudut keindahan alam Wonosoco yang ingin terus aku abadikan.
Demikian, semoga bermanfaat.
Tulisan ini disertakan dalam “My Itchy Feet,,,Perjalananku yang tak terlupakan”
With Love,
Bunda Aisykha
*Semua foto adalah koleksi pribadi, jepretan asli alam Wonosoco yang di collage menggunakan frame dari PhotoWonder Studio dan PicsArt.
Posted from WordPress for Android
Thank you for coming. May Allah always give u n u’re family all d best. Amin.
liat karpet hijau kyk gt bikin seger mata, ya π
Iya mba myra,,seger bgt π makasih udh mampir ya mba,,
wah senengnya… jalan-jalan
He he,,
Ini blog dan tulisan yang sangat santun …
mengapa saya berkata demikian … ?
coba kita lihat di bagian akhir … dua kalimat terakhir …
itu adalah kalimat khas blogger yang santun dan menjunjung tinggi etika …
Saya suka tulisan ini … mengalir
salam (kenal) saya
Alhamdulillah,,makasih sdh berkenan berkunjung ke rumahku omm,, π
wiiih..view nya bagus2 mbak…
Iyaa,,makasihh,,ayoo mampiirr π
cantiiiiik…Wonosoco ‘menggiurkan’ sekali mbaaaa :D…
Saya catat ya mbaaa….seruuu ya ber-itchy feet π dan terima kasih sudah ikut dalam GA-ku :)…have a great day…
Sama2 mak indah,,mampir yuuuk ke wonosoco π
Aak Mak, aku juga suka edit foto pake photowonder π
Suka banget sama karpet hijaunya.. kemaren di bali pun yang kucari sawah π
Aiiihhh,,sdh comeback niih,,semangat baru niiih,,abs honeymoon,,tengkyu ya mak π
Aih seneng liat foto2nya π
Moga sukses untuk GA-nya yaa ^_^
He he,,makasih mak inna π
hemm lihat judulnya tak kira di wonosobo
sawahnya kayaknya baget tu bun selain buat produk makanan ternyata juga buat keindahan heheheh
kunjung balik ya bun
http://www.tian.web.id/2013/12/dari-kopi-terun-ke-story.html
Iya tian ini wonosoco,,o ya aku udh mampir ke rumahmu,,tp dr tabletku aku kesulitan komen,,ada yaa danau laut tawar,,aku baru tau dr ceritamu,,bolang π
sawahnya Mak…. uwoooo… kalo ga inget itu sawah rasanya pengen tiduran diatasnya.. seger banget deh, mungkin kalo pagi2 lebih seger lagi kali ya.. π
Iya betul bgt mak,,sama berasa penen tidur π makasih udh mampir yaa
adakah penginapan disana mbak?
Belum ada mba,,paling d rumah pendudukπ